14 Des 2011

Sebab Umat Islam Lebih Suka Berbohong

Perbanyak stress sebelum anda membaca tulisan ini, karena bisa menyebabkan anda marah dan ngamuk lewat omongan, cermin dari sikap seseorang yang taat beragama. Bukankah selama ini memang ideologi tersebut yang terukir di hari anda, akan menjadi gampang berang jika ada orang yang sudah mengacak-acak sikap penyelewang makna?

Kenapa saya katakan, bahwa umat islam lebih suka berbohong? Mari kita mulai, tidak banyak.

Pernahkan anda memahami makna dari, "tidak masalah jika kebohongan untuk kebaikan"? Ketika terjadi suatu kondisi yang tidak memungkinkan karena alasan masing-masing, maka dibenarkan untuk berkata bohong. Tapi implementasinya yang berkembang saat ini sangat jauh dari harapan. Misalnya, pada saat tidak berani menolak dari suatu tawaran, maka diberikanlah kalimat penjelasan lain dengan cara berbohong, tujuannya agar pihak pemberi tawaran tidak merasa tersakiti hatinya. Tidak adakah pilihan lain kejujuran secara baik-baik, selain dari kalimat manis yang menyakitkan?

Ini adalah kejahatan luar biasa, terpatri dalam mitos yang dihalalkan. Secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari, mereka melakukan kejahatan luar dalam pada implementasi dari kalimat ungkapan di atas. Kejujuran berbeda tipis dengan kebohongan, seolah berbohong dijadikan sebagai alat untuk menyenangkan perasaan orang lain, padahal pahitnya kejujuran lebih melegakan dari pada manisnya kebohongan yang justru menyesakkan. Pemahaman ini mungkin karena mereka lebih suka dibohongi dari pada menerima obyektifitas terfaktakan?

Kenyataan hidup harus diterima, menyoal pada penghayatan pemahaman fenomena kehidupan, yakni proses berpikir rasional. Mengkaji, bukan sekedar mengaji, bersifat hafalan namun tidak mengupas kulit untuk mengetahui isi. Seolah ibadah merupakan kewajiban yang terpaksakan, taat beragama tapi belum tentu memahaminya, inilah bukti salah satu kebohongan kepada Tuhan. Terlebih sadis lagi ketika berbohong kepada manusia, juga kepada Tuhannya. Pasalnya, bila sudah membohongi seseorang maka berarti otomatis sudah melakukan penyelewang ajaran yang sudah terwahyukan.

Ketika seseorang tidak sedang taat beragama (menjalankan ibadah), hanya satu urusan yang terlahir, antara mereka dengan Tuhan. Tapi berbeda arti ketika sudah mendustai seseorang, terjadi hubungan antara permasalahan kemanusiaan dan ketuhanan, medapat dua sisi penilaian buruk. Namun kedua pulihan tersebut tetap saja buruk, kenapa tidak menghindarinya saja, dengan cara mengungkap kejujuran agar kita semua dapat belajar untuk menelan pil pahit?
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar